Istana Niat Lima Laras


Berbicara tentang kisah kerajaan Melayu yang pernah ditulis dalam buku sejarah sekolah. Yaitu kemegahan masa lalu, yang bahkan tidak terdengar selalu.

Lima Laras Istana dilupakan sejarah. Namanya kurang terkenal dari Istana Maimun di Medan. Meskipun tidak benar-benar solid, IstanaLima Laras  masih berdiri di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Asahan. Sekitar 136 kilometer sebelah tenggara dari Medan.

Sekilas dari depan bangunan istana terlihat warna hijau adalah membosankan. Istana berlantai empat yang dibangun pada tahun 1912 telah membusuk dan dimakan oleh waktu. Mungkin karena kondisi, dalam brosur pariwisata Sumatera Utara, Istana Lima Laras  tidak terdaftar lagi sebagai obyek wisata.

Istana ini terletak di area 102 meter 98 x; dibangun Datuk Matyoeda, Raja Kerajaan Lima Laras XII, putra raja sebelumnya tertua, Datuk H. Djafar berjudul Raja Sri Indra. Istana ini awalnya disebut istana of Intent, karena rencana pengembangannya berdasarkan tujuan Matyoeda untuk membangun sebuah istana untuk itu.

Sebelumnya Lima Laras kerajaan yang tunduk pada Kesultanan Siak di Riau dan diperkirakan telah ada sejak abad keenam belas, sering berpindah pindah karena mereka belum memiliki pengadilan permanen.

Tujuan dari Datuk Matyoeda sendiri berasal dari keputusan Belanda untuk melarang perdagangan Raja-Raja. Tidak ada alasan yang jelas untuk larangan ini. Matyoeda yang sering bererdagangkan ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar, tentu saja, marah. Terutama ketika hasil keluar, beberapa armada dagangnya sedang berlayar ke Malaysia.

Mengingat larangan ini, nasib kapal beserta isinya tidak terjamin lagi. Belanda dapat menyiita setibanya kembali pulang, atau bisa tinggal di Malaysia yang masih disebut Malaka.

Matyoeda karena berniat, jika dagangan terakhir selamat, hasilnya akan digunakan untuk membangun istana. Rupanya kapalnya kembali aman. Jadi dia membangun sebuah istana dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana dengan 80 orang membawa para ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah seniman dari sekitar lokasi pembangunan istana .

Matyoeda dengan unsur keluarga dan administrasi mendiami istana sejak tahun 1917, meskipun pada saat itu istana masih belum selesai. Pada saat kematiannya pada tanggal 7 Juni, 1919 serta penanda akhir Lima Laras kejayaan kerajaan. Pada tahun 1942 tentara Jepang datang  dan menguasai istana. Kemudian pada Agresi Militer II, istana kembali di tangan Republik dan ditempati oleh Angkatan Laut Indonesia di bawah komando Mayor Dahrif Nasution.